Kamis, 12 Maret 2015

CINTAKU SEBAGAI WALI KELAS

Menjadi seorang guru memang cita-citaku sejak kecil. Dan Alhamdulillah akhirnya menjadi kenyataan. Meski dulunya aku bercita-cita menjadi guru matematika. Tak apalah ini sudah takdir yang digariskan oleh Sang Pencipta untukku. Aku seorang guru bahasa Jawa. Awal karier guruku kuawali pada tahun 2009. Aku menjadi guru bahasa Jawa di SD IT Al-Azhar 25 Semarang. Kenanganku disana cukup banyak meski hanya selama kurang lebih 10 bulan. Aku memutuskan mengundurkan diri dari SD tersebut dan mendaftar CPNS di kota kelahiranku. Alhamdulillah berkat usaha dan doa, aku diterima menjadi abdi negara sebagai guru bahasa Jawa SMP.

Inilah awal aku benar-benar berkarier menjadi seorang guru. Awal aku bertemu dengan anak-anak yang manis dan penuh warna-warni karakter. Tak seperti di Al-Azhar, anak-anak di SMP N 1 Cluwak sangatlah berbeda. Kalau di Al-Azhar jelaslah mereka dari golongan ekonomi lebih dari mampu. Namun, tidak di SMP N 1 Cluwak. Kebanyakan dari mereka hidup pas-pasan. Orang tua mereka banyak yang menjadi TKW dan perantau di luar kota.

Tahun pertama di SMP N 1 Cluwak, aku langsung diberi kepercayaan menjadi wali kelas. Buatku, menjadi seorang wali kelas adalah tugas yang amat berat. Aku harus bisa menjadi teman sekaligus orang tua bagi anak waliku. Aku mengalami pengalaman pahit menjadi wali kelas dan sedikit membuat trauma.

Ketika itu tahun 2012. Aku menjadi wali kelas VIII-B. Aku merasa anak waliku itu adalah anak-anak yang manis. Anak-anak yang tiap kali aku masuk ke kelas selalu ingin mengajak curhat dan mencari perhatian. Anak-anak yang senang berbicara. Namun, lain ketika jam pelajaran guru lain. Mereka selalu mendapat rapor merah karena ulah tingkah yang menurut guru-guru menjengkelkan.

Ada sekitar 6 anak yang mendapat kecaman karena selalu membuat ulah. Ketika jam pelajaranku memang kadang mereka berulah. Tetapi aku biasa membuat santai meski kadang kala juga merasa jengkel. Ulah mereka pun beraneka ragam. Ada yang punya kebiasan tidur di kelas, ngobrol, berbicara kotor, dan masih banyak lagi. Laporan demi laporan kuterima. Bimbingan dan nasihat sering diberikan. Bukan dari aku saja sebagai wali, tetapi juga guru BK dan guru-guru lainnya. Bagi sebagian orang kelakuan mereka memang kenakalan yang wajar. Namun, kenakalan yang wajar tersebut tidak diimbangi dengan prestasi. 

Hari buruk itu pun terjadi. Rapat kenaikan kelas tiba. Dewan guru beserta kepala sekolah sidang. Tibalah membahas kelasku. Setengah dag-dig-dug aku memaparkan hasil nilai kelasku. Kelasku itu memiliki 3 anak yang nilainya merah. Anak-anak tersebut juga memiliki riwayat kelakuan yang kurang baik dimata guru-guru. 

Susah payah aku mempertahankan mereka. Namun keputusan sidang sudah diketok. Tiga anakku itu tak naik kelas. Pikiran bercampur aduk di kepalaku. Bagaimana caranya nanti aku menjelaskan pada mereka? Namun, itu kusadari sebagai keputusan yang memang bijaksana. Aku juga mengakui bahwa 3 anak waliku itu kurang mampu bersaing dan punya riwayat kelakuan yang kurang mengenakkan.

Hari terima raport tiba. Di depanku duduk 32 orang wali murid. Kupanggil satu per satu. Sambil mennyerahkan raport, aku melaporkan perkembangan dan kelakuan anak mereka selama di kelas VIII. Tinggallah 3 orang wanita setengah baya. Dengan suara berat aku menjelaskan pada mereka bahwa ada catatan khusus bagi putra-putranya. Aku menerangkan dengan pelan agar tak ada yang salah arti dan akhirnya menimbulkan masalah. Ketika kujelaskan, otomatis mereka kaget dan tak percaya. Wanita-wanita tersebut menangis di depanku meminta tolong agar anak-anaknya bisa naik kelas. Tak tega memang. Aku juga merasa bersalah. Kubesarkan hati mereka, kujelaskan hal-hal apa yang membuat anak mereka tak naik kelas. Mereka memang tidak terima dengan keputusan tersebut. Mau apalagi itu sudah keputusan sidang seluruh guru. Setelah emosi mereka reda, kuminta mereka pulang.

Sejak kejadian itu, handphoneku tak pernah sepi. Satu anak sudah memutuskan untuk pindah sekolah. Sedangkan yang dua lagi mogok sekolah. Teman-temannya memintaku untuk membujuk mereka agar semangat lagi sekolah. Orang tua mereka juga telpon tak henti-hentinya meminta bantuanku. Kubuka pintu bantuanku selebar-lebarnya meski ketika itu libur sekolah. Kutelpon mereka. Kurayu agar mau sekolah. Alhamdulillah usahaku berhasil. Akhirnya mereka mau bersekolah lagi meski pindah ke sekolah lain. Sedih rasanya mengingat kejadian itu. Rasanya tak ingin aku mengulang masa-masa itu. 

Artikle ini diikutkan dalam lomba menulis guru dan orang tua yang diselenggarakan oleh www.sekolah-akhlak.com dan motivatorkreatif.wordpress.com serta komunitas guru inspiratif




2 komentar: